Jumat, 15 Februari 2019

Konsep Ilmu Pengetahuan Dalam Islam

KONSEP ILMU PENGETAHUAN DALAM ISLAM
Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Islam


Prolog
Kemajuan peradaban adalah karena kemajuan tradisi keilmua, maka untuk membangun kembali suatu peradaban tertentu, yang harus dilakukan untuk pertama kali adalah membangun kembali tradisi keilmuan tersebut. Kita bisa menengok kembali sejarah Islam beberapa abad silam. Dalam sejarah tersebut, tertoreh tinta emas Islam menyinari peradaban dunia dengan kemajuan tradisi keilmuan ketika itu. Hal ini bukan untuk sekedar bernostalgia akan kejayaan Islam, lantas kemudian menjadikan kita bangga dan lupa diri. Setidaknya dengan mempelajari sejarah, kita bisa mengambil pelajaran berharga darinya.
Dalam dunia Islam, ilmu merupakan prasyarat utama dalam memperoleh kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat. Adalah suatu kewajaran bila dikatakan sebab kemunduran peradaban Islam saat ini adalah karena karena krisis ilmu dalam tubuh Islam. maka dalam upaya menegakkan kembali peradaban Islam, tidak berlebihan jika dikatakan adalah dengan menegakkan bangunan ilmu. Dimana upaya tersebut adalah dengan mengerahkan kembali pemikiran atau pola pikir manusia agar sejalan dengan prinsip-prinsip dalam Islam. jadi membangun peradaban Islam bukanlah dengan upaya pembangunan prasarana fisik yang diberi label Islam, tapi ia adalah membangun kembali pola berfikir umat Islam.
Dalam hal ini, kita akan membahas tentang suatu konsep ilmu dalam Islam yang menjadi bagian dari Islamic Worldview atau pandangan hidup Islam. konsep ini mempunyai ciri khas tersendiri yang menjadikannya berbeda dengan konsep-konsep dalam peradaban lain. Dalam dunia filsafat, konsep ini disebut dengan epitemologi. Ia merupakan salah satu cabang filsafat yang menjadi dasar dari pencarian cabang lainnya, yaitu ontology dan aksiologi.
Konseptualisasi Ilmu
Secara etimologi, ilmu berasal dari akar kata ‘ain-lam-mim yang diambil dari perkataan ‘alamah, yaitu tanda, petunjuk, atau indikasi yang dengannya sesuatu atau seseorang dikenal. Dalam menjelaskan ilmu secara terminology, al-Attas menggunakan dua definisi, pertama, ilmu sebagai sesuatu yang berasal dari Allah SWT, bisa dikatakan bahwa ilmu adalah datangnya (hushul) makna sesuatu atau obyek ilmu ke dalam jiwa pencari ilmu. Kedua, sebagai sesuatu yang diterima oleh jiwa yang aktif dan kreatif, ilmu bisa diartikan sebagai datangnya jiwa (wushul) pada makna sesautu atau obyek ilmu. Hal ini berimplikasi ilmu itu mencakup semua hal. Selanjutnya al-Attas menjelaskan bahwa kedatangan yang dimaksud adalah proses yang di satu pihak

memerlukan mental yang aktif dan persiapan spiritual di pihak pencari ilmu, dan di pihak lain keridhaan serta kasih sayang Allah SWT sebagai zat yang memberikan ilmu. Definisi ini mengisyaratkan bahwa pencapaian ilmu dan pemikiran, yang juga disebut proses perjalanan jiwa pada makna, adalah sebuah proses spiritual.
Selain kata ilmu, ada kata lain yang sering disamaartikan dengan ilmu, yaitu sains. Pada kenyataannya, keduanya seringkali dibedakan karena sejatinya keduanya memang berneda. Dalam menjelaskan definisi sains, Mulyadhi kartanegara mengutip Kamus Webster’s New World Dictionary, sebagai “pengetahuan yang sistematis yang berasal dari observasii, kajian, dan percobaan yang dilakukan untuk menentukan sifat dasar atau dari sesuatu yang dikaji. Definisi ini dari hari ke hari semakin mengalami pembatasan yang semakins empit. Sains yang dahulu dipakai untuk segala obyek pengetahuan, baik itu fisik, metafisik, maupun matematik, kini hanya ditujukan untuk kajian fisik empirik saja, tanpa menghiraukan adanya entitas-entitas metafisika yang merupakan bagian dari epistemologi. Dari pembatasan ini, akan muncul anggapan bahwa sains adalah kajian yang langsung bisa dibuktikan dengan kongkrit dan jelas, dan itu hanya bisa diberlakukan pada obyek fisik empirik saja. Di sinilah letak kesalahan fatal yang –jika ditelusuri- bersumber dari tradisi keilmuan Barat.
Selanjutnya, dalam pemilahan (bukan pemisahan) ilmu ini kita bisa menemukan beberapa konsep yang diberikan oleh para ilmuwan Islam. Di antaranya adalah Ibnu Khaldun. Beliau memilah ilmu atas dua macam, yaitu ilmu naqliyah (ilmu yang berdasarkan pada otoritas atau ada yang menyebutnya ilmu-ilmu tradisional) dan ilmu ‘aqliyah (ilmu yang berdasarkan akal atau dalil rasional). Termasuk yang pertama adalah ilmu-ilmu al-Quran, hadis, tafsir, ilmu kalam, tawsawuf, dan ta’bir al-ru`yah. Sedangkan yang kedua adalah filsafat (metafisika), matematika, dan fisika, dengan macam-macam pembagiannya.
Selain Ibnu Khaldun, sebelumnya al-Ghazali juga membagi ilmu pada dua jebis, ‘ilm syar’iyyah dan ‘ilm ghair syar’iyyah. Yang pertama digolongkan sebagai ilmu fardhu ‘ai untuk menuntutnya, sedangkan yang kedua sebagai ilmu fardhu kifayah. Sekalipun al-Ghazali membedakan antara keduanya dalam hal penuntutannya, beliau menggunakan konsep integral dalam memandang ilmu secara keseluruhan. Setidaknya ini bisa dilihat dari penggolongan kedua ilmu tersebut dengan fardhu untuk menuntutnya.
Dalam Risalah-nya, al-Attas mengklasifikasikan ilmu berdasarkan hakikat yang inheren dalam keragaman ilmu manusia dan cara-cara yang mereka tempuh untuk memperoleh dan menganggap kategorisasi ini sebagai bentuk keadilan dalam menempatkan ilmu pengetahuan sebagai obyek dan manusia sebagai subyek. Dalam klasifikasinya tersebut, al-Attas membagi ilmu dalam dua bagian, yaitu ilmu iluminasi (ma’rifah) dan ilmu sains, dalam bahasa Melayu yang pertama disebut dengan ilmu pengenalan dan yang kedua disebut dengan ilmu pengetahuan. Dalam konteks ini, ilmu pengetahuan jenis pertama dikategorikan sebagai ilmu fardhu ‘ain yang bisa dan harus dipelajari oleh setiap umat Islam. Sedangkan ilmu pengetahuan dalam kategori kedua berkaitan dengan fisik dan obyek-obyek yang berhubungan dengannya, yang bisa dicapai melalui penggunaan daya intelektual dan jasmaniah. Ia bersifat fardhu kifayah dalam perolehannya. Hubungan antara kedua kategori ilmu pengetahuan ini sangat jelas. Yang pertama menyingkap rahasia Being dan eksistensi, menerangkan dengan sebenar-benarnya hubungan antara diri manusia dan Tuhan, serta menjelaskan maksiud dari mengetahui sesuatu dan tujuan kehidupan yang sebenarnya. Konsekuensinya, kategori ilmu pengetahuan yang pertama harus menjadi pembimbing kategori ilmu yang kedua.
Dari pembagian ini, bisa kita simpulkan bahwa ilmu dalam Islam tidak hanya meliputi ilmu-ilmu ‘aqidah dan syariah saja. Selain kedua ilmu tersebut, kita masih berkewajiban untuk menuntut ilmu lainnya. Bisa dikatakan bahwa dengan ilmu syar’iyyah kita akan mempelajari tanda Allah dari ayat qauliyyah, yang bisa disebut dengan dzikir, sedangkan dengan ilmu ghair syra’iyyah, kita akan mempelajari ayat kauniyyah Allah yang terbentang pada jagat raya ini, yang disebut dengan tafakkur. Dalam hal ini, kita bisa telaah bahwa dua aktifitas ini merupakan implementasi dari ayat al-Quran surat Ali ‘Imran ayat 190-191, dengan natijah (buah) penerimaan amal oleh Allah bagi para pelakunya. Muhammad Iqbal pernah menyatakan bahwa alam tak lain adalah medan kreativitas Allah. Karena bagi siapapun yang teliti mengadakan kajian terhadap alam, sebenarnya mereka telah melakukan penelitian terhadap cara Allah bekerja. Dengan demikian sebuah penelitian ilmiah, sangat mungkin untuk menambah iman para pelakunya, bukan malah sebaliknya –seperti sering terjadi di Barat- yang malah menyingkirkan Tuhan dari arena penelitian mereka. Maka di sinilah letak integralisasi ilmu –antara iilmu fisik empiric dengan metafiska- ilmu dalam Islam.

Obyek Ilmu
Dalam menjelaskan obyek ilmu pengetahuan ini, para filosof Muslim memberikan penjelasan mengenai obyek-obyek ilmu pengatahuan sesuai dengan status ontologisnya. Selama ini para filosof Barat hanya mengakui keberadaan obyek yang memiliki status ontologis yang jelas dan materil, yakni obyek-obyek fisik. Berbeda dengan para filosof Muslim yang mempunyai pandangan bahwa entitas yang ada tidak hanya terbatas pada dunia fisik saja, tetapi juga pada entitas non-fisik, seperti konsep-konsep mental dan metafisika.
Darinya tersusun hirarki wujud yang dimulai entitas metafisik, matematik, dan entitas fisik. Dalam hal ini, al-farabi mengemukakan hirarki wujud menurut persepsinya: [1] Tuhan yang merupakan sebab utama keberadaan wujud lainnya. Tuhan yang berada pada puncak hirarki wujud lainnya di alam semesta ini. [2] Malaikat yang merupakan wujud imateril. Malaikat sering disebut sebagai akal aktif (al-‘aql al-fa’l) sebagaimana yang sering dikatakan oleh Ibn Sina. Namun bagi Suhrawardi, ia disebut sebagai cahaya (nur al-aqrab). [3] Benda-benda angkasa. Benda-benda ini diyakini memiliki akal dan jiwanya masing-masing. Menurut Ibn Sina, benda-benda angkasa ini memberi pengaruh terhadap benda-benda fisik. [4] Benda-benda bumi. Lebih jelas lagi al-farabi mengemukakan lima macam benda bumi dari tingaktan yang paling rendah; unsure-unsur, mineral, tumbuh-tumbuhan, hewan irrasional, hewan rasional (manusia).
Di tempat lain, al-Attas menyusun tingaktan-tingkatan eksistensi sesuai dengan keragaman tingkat operasional indera-indera eksternal dan internal, sebagaimana berikut: [1] Eksistensi nyata (haqiqi) yang ada pada tataran obyektif, seperti dunia inderawi dan eksternal. [2] Eksistensi inderawi (hissi) yang mencakup mimpi, visi, ilusi, dan lain-lain. [3] Eksistensi imajinasi (khayali), yaitu objek dari fenomena alam yang hadir dalam imajinasi ketika obyek tersebut tidak terlihat. [4] Eksistensi intelektual (‘aql) yang terdiri dari konsep-konsep abstrak dalam pikiran manusia. [5] Eksistensi analogi (syibhi), yaitu eksistensi yang tidak termasuk di antara kategori eksistensi yang disebutkan di atas, tetapi menyerupai sesautu dalam aspek-aspek tertentu. Eksistensi ini berhubungan dengan daya kognitif jiwa. [6] Eksistensi suprarasional atau transenden, yang di dalamnya segala sesuatu bisa “dilihat” sebagaimana adanya, dialami oleh para nabi, wali, dan mereka yang tercerahkan dan betul-betul mendalam ilmunya. Pada level ini, kebersatuan antara mengetahui dan cara mengetahui berarti bersatunya pemikiran dan being atau eksistensi.
Dengan hirarki tersebut, epistemologi Islam tidak hanya mengakui keberadaan dunia di luar dunia yang dapat diindera saja. Dunia inderawi hanya merupakan satu bagian kecil dan bukan segala-galanya sebagai obyek pengakajian.

Sumber Ilmu dan Cara Memperolehnya
Sudah disinggung di awal, bahwa obyek ilmu dalam Islam tidak hanya terbatas pada kajian fisik empirik saja, yang hal ini tentunya berbeda dengan epistemologi Barat Modern. Hal ini berimplikasi pada sumber atau saluran dari ilmu dalam Islam yang mempunyai perbedaan signifikan dengan epistemologi Barat, kalau Barat hanya mengakui indera dan rasio, spekulasi filosofis dalam epistemologinya, maka dalam pandangan filosof Muslim, ilmu yang datang dari Tuhan dapat diperoleh melalui: [1] Indera sehat (hawass salimah), di sini terdiri dari dua bagian, yaitu panca indera eksternal dan internal. Panca indera eksternal terdiri dari peraba (touch), perasa (taste), pencium (smell), pendengaran (hearing), dan penglihatan (sight). Sedangkan panca indera internal adalah akal sehat (common sense/al-hiss al-musytarak), indera representative (al-khayaliyyah), indera estimatif (al-wahmiyyah), indera retentif rekolektif (al-hafizhah al-shadiq), dan indera imajinatif (al-mutakhayyilah). [2] Laporan yang benar (khabr shadiq) berdasarkan otoritas yang terbagi menjadi dua, yaitu otoritas mutlak, yaitu otoritas ketuhanan, yaitu al-Quran, dan otoritas kenabian. Dan otoritas nisbi, yaitu kesepakatan alim ulama dan kabar dari orang-orang yang terpercaya secara umum. [3] Intelek, yang terdiri dari dua bagian, yaitu akal sehat (sound reason/ratio), dan ilham (intuition).
Sebagai penjelasan bahwa Islam tidak pernah mengecilkan peranan indera, yang dasarnya merupakan saluran yang sangat penting dalam pencapaian ilmu pengetahuan mengenai realitas empiris. Dalam hal metode yang berasangkutan dengan indera disebut dengan tajribi (eksperimen atau observasi) bagi obyek-obyek fisik (mahsusat). Metofr observasi ini biasanya menggunakan sumber pengetahuan panca indera. Namun terkadang ia membutuhkan pada alat-alat Bantu bagi indera yang tanpanya pengamatan indera tidak akurat dalam memperoleh pengetahuan.
Demikian pula pikiran, sebagai aspek intelek manusia, ia merupakan saluran penting yang dengannya diperoleh ilmu pengetahuan mengenai sesuatu yang jeals, yaitu perkara-perkara yang bisa dipahami dan dikuasai oleh akal, dan mengenai sesuatu yang bisa dicerap dengan indera. Akal bukan hanya rasio, ia adalah fakultas mental logika. Dalam kaitannya dengan metode, ia berkaitan dengan metode burhani, (logis/demonstrasi).
Sedangkan metode ketiga adalah intuisi atau yang disebut dengan ‘irfani atau dzauqi. Ciri khas dari metode ini adalah sifatnya yang langsung –tidak melalui perantara sehingga sering disebut dengan mukasyafah (penyingkapan) langsung oleh Tuhan ke dalam hati manusia tentang rahasaia-rahasia dari realitas yang ada. Metode ini bukan melalui pencerapan indera ataupun penalaran akal, akan tetapi melalui iluminasi yang diarahkan Tuhan pada hati manusia. Caranya bukan dengan mempertajam pengamatan indera, bukan pula dengan alat canggih, akan tetapi dengan cara membersihkannya dari segala debu egoisme dan kotoran dosa-dosa. Dalam hal ini, para filosof dan sufi menyebut modus dari pengetahuan ini dengan ilmu hudhuri. Di sini obyek yang diteliti dikatakan hadir dalam diri atau jiwa seseorang sehingga telah terjadi kesatuan antara subyek dan obyek.
Metode ini dipengaruhi oleh pemikiran cendekiawan sufi. Iqbal menganggap bahwa intuisi sebagai pengalaman yang unik, lebih tinggi daripada persepsi dan pikiran, yang menghasilkan ilmu pengetahuan tertinggi. Menurut al-Attas, meskipun pengalaman intuitif ini tidak bisa dikomunikasikan, tetapi pemahaman mengenai kendungannya atau ilmu pengetahuan yang dihasilkannya bisa ditransformasikan. Intuisi ini terdiri dari berbagai tingkat, yang terendah adalah yang dialami oleh para ilmuwan dan sarjana dalam penemuan-penemuan mereka dan yang tertinggi dialami oleh para nabi. Menurut Iabal, dari intuisi mengenai sesuatu yang ada di luar dirinya, akhrinya bisa mengalami intuisi mengenai Allah, sebuah pandangan yang disepakati oleh al-Attas karena kesesuaiannya dengan hadis Nabi SAW, “Siapa yang mengenal dirinya, maka ia mengetahui Tuhannya.” Metode yang terakhir disebut dengan metode ‘irfani.

Hubungan Sains, Filsafat, dan Agama
Banyak sumber yang bisa dibaca untuk menelusuri hubungan antara sains, filsfat, dan agama. Bahkan, saat ini sedang marak diperbincangkan masalah keterkaitan dan hubungan antara ketiga hal di atas, baik itu oleh ilmuwan Islam, maupun Barat. Hal ini dikarenakan adanya berbagai krisis multidimensional yang diakibatkan hegemoni sains modern Barat yang menjadikan sains hanya meliputi dunia fisik dan alam raya ini. Dengan keangkuhannya, sains modern telah mempelakukan alam dengan semena-mena. Maka ada kecenderungan masa kini untuk menemukan solusi bagi krisis tersebut dengan kembali mempertanyakan hubungan antara sains, filsfat, dan agama.
Jika ditelusuri, pada awalnya antara ketiga hal tersebut di atas bersatu dalam suatu kesatuan, yaitu ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, Ibnu Khaldun mengemukakan bahwa ilmu yang tersdiri dari dua bagian (aqliyah dan naqliyah) merupakan kesatuan yang bersumber pada yang satu. Keduanya menyingkap berbagai ayat atau tanda keberadaan-Nya. Para ilmuwan Muslim terdahulu, seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, al-Ghazali, Fakhruddin al-Razi, Nashiruddin al-Thusi, dan lainnya juga tidak pernah mempersalahkan ketiganya pada level pertentangan. Bahkan tidak jarang ketiga hal tersebut bersatu pada satu sosok ilmuwan Muslim.
Pertentangan antar ketiganya mulai muncul berawal pada abad pertengahan, yaitu seiring dengan munculnya gerakan modernisasi yang terjadi di dunia Barat pada abad 16. Era modern ini ditandai dengan pandangan hidup yang saintifik dengan warna sekularisme, rasionalisme, empirisme, cara berfikir dikotomis, desakralisasi, pragmatisme, dan penafian kebenaran metafisis (agama). Selain itu modernisme yang terkadang disebut juga dengan westernisme membawa serta paham nasionalisme, kapitalisme, humanisme, liberalisme, sekularisme dan sejenisnya.
Pada masa ini, paradigma ini mulai dihancurkan oleh posmodernisme yang “mengaku” mengevaluasi paradigma modernisme. Pstmodernisme menggariskan gerakan kepada paham-paham baru seperti nihilisme, relativisme, pluralisme, dan persamaan gender dan umumnya anti worldview. Namun, pada kenyataannya, postmodernisme hanya merupakan kelanjutan dari paradigma modernisme itu sendiri, karena masih mempertahankan paham liberalisme, rasionalisme, dan pluralisme.
Dampak dari paham, aliran, dan pemikiran yang dibawa modernisme dan postmodenisme terhadap paham ilmu pengetahuan sangatlah besar. Nilai-nilai yang berhubungan dengan metafisika dilepaskan dan hanya mengakui realitas empiris. Lebih jauh lagi pandangan postmodernisme yang menganggap metrafisika secara peyoratif sebagai ilmu yang membahas tentang kesalahan manusia yang fundamental. Ini adalah preposisi logis dari paham nihilisme. Serangan doktrinnihilisme terhadap metafisika ini menunjukkan dengan jelas serangan terhadap agama sebagai asas bagi moralitas.
Namun yang perlu digarisbawahi adalah, semua pandangan ini merupakan hasil dari sebuah pandangan hidup (worldview) sains. Sederhanya ini adalah sebuah tafsiran atas sains atau sering disebut saintisme. Dalam mengahdapi tantangan ini beberapa ilmuwan Muslim mencoba merumuskan teori-teori sebagai solusi dari permasalahan ini. Dari padanya terciptalah sebuah konsep tentang ”Islamisasi Sains Modern” yang digalakkan oleh para ilmuwan Muslim, seperti Syed Mohammad Naquib al-Attas, Sayyed Hossein Nasr, Ismail Raji al-Faruqi, Osman Bakar, dan Ziauddin Sardar. Islamisasi sains modern merupakan proses integrasi antara sains dan agama, dalam hal ini adalah Islam.
Dalam definisinya, Syed Mohd. Naquib al-Attas menjelaskan bahwa Islamisasi adalah pembebasan manusia dari tradisi magis muitologis, animistis, kultur nasional (yang bertentangan dengan Islam) dan dari belenggu paham sekularisme terhadap pemikiran dan bahasa. Ia juga merupakan pembebasan dari control dorongan fisiknya yang cenderung sekuler dan tidak adil terhadap hakikat diri atau jiwanya, sebab manusia dalam wujud fisiknya cenderung lupa terhadap hakika dirinya yang sebenarnya, menjadi bodoh akan tujuan yang sebenarnya dan berbuat tidak adil terhadapnya.
Proses ini kemudian berjalan dalam dua proses, yaitu pembebasan sains dari makna, tafsiran, ideologi, dan prinsip-prinsip materialisme sekuler (ateis), yang dibarengi dengan penanaman nilai-nilai dan prinsip ketuhanan yang sesuai dengan ajaran Islam.
Pada definisi yang lain, Sayyed Hossein Nasr dan Osman Bakar memahami islamisasi sains sebagai upaya menterjemahkan pengetahuan modern ke dalam bahasa yang bisa dipahami masyarakat Muslim di pelbagai tempat tinggal mereka. Bagi mereka berdua, Islamisasi lebih merupakan upaya untuk mempertemukan cara berfikir dan bertindak (epistemologi dan aksiologi) masyarakat Barat dengan Muslim.
Sementara Ismail Raji al-Faruqi menjelaskan bahwa islamisasi sains adalah upaya mengislamkan disiplin-disiplin ilmu modern dalam wawasan Islam. dengan kata lain, al-Faruqi ingin agar para cendekiawan Islam melakkan upaya integrasi pengetahuan-pengetahuan modern ke dalam keutuhan warisan Islam dengan melakukan eliminasi, perubahan, penafsiran kembali, dan penyesuaian terhadap komponen-komponennya sebagai worlview Islam serta menetapkan nilai-nilainya. Pada tataran praktisnya, upaya Islamisasi sains ini mesti dibuktikan dengan menghasilkan buku-buku pegangan di perguruan tinggi dan sekolah-sekolah dengan menuangkan kembali disiplin ilmu modern dalam wawasan Islam.
Kendati berbeda-beda dalam pendefinisiannya, kesemua ilmuwan tersebut mencoba untuk menghadirkan solusi yang tepat terhadap permasalahan yang terjadi dalam dunia sains, filsafat yang telah mengalami perubahan akibat persentuhannya dengan nilai-nilai yang dianggap bertentangan dengan nilai Islam.

Epilog
Syukur kepada Allah yang telah menganugerahkan akal yang menjadi pembeda manusia dengan makhluk lainnya. Segala apa yang diberikan Allah sebagai karunia adalah bekal yang tidak pernah pupus oleh zaman. Sudah sepatutnya kita selaku manusia mensyukurinya. Segala perkembangan dan kekayaan pengetahuan yang ada di alam dunia ini sudah sepatutnya dimanfaatkan secara 3baik dan penuh tanggung jawab. Alam semesta yang telah disediakan oleh Tuhan seyogyanya menjadi bahan perenungan akan kebesaran kekuasaan-Nya.
Al-Quran juga telah mengisyaratkan bahwa semua adalah tanda-tanda dan isyarat Tuhan bagi orang-orang yang mau berfikir dan merenung dengan penuh ketakwaan. Orang-orang inilah yang disebut al-Quran sebagai insane ulil albab. “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian siang dan malam terdapat tanda-tanda bagi orang yang memahami (ulil albab).”





                                     

Ringkasan Budaya Arab dan Budaya Islam


Apakah budaya Arab

Kebudayaan Arab adalah semua hasil akal, perasaan, imajinasi yang dituangkan dalam bentuk nyata. Antara lain musik, kerajinan, cara berpakaian, cara makan, bentuk rumah, kebiasaan, adat istiadat, bahasa, istilah, kesenian, bentuk masjid dan lain-lain yang merupakan karya manusia Arab.

Apakah Islam itu?

Islam adalah agama yang berdasarkan wahyu. Agama yang diturunkan oleh Allah SWT ke Nabi Muhammad SAW. Ajaran Islam dituangkan dalam bentuk Al Qur’an sebagai kitab suci umat Islam atau muslim dan muslimah.

Apakah budaya Islam itu?

Sesuai dengan definisi budaya, maka budaya juga bisa berarti hasil daripada sebuah kepercayaan dan keyakinan. Artinya, budaya Islam adalah budaya yang bersumber dari kepercayaan dan keyakinan agama, yaitu sebuah budaya yang bersumber dari kitab suci Al Qur’an. Misalnya, cara berpakaian, cara shalat, cara makan, cara mencari rejeki dan semua cara yang berhubungan dengan semua faktor kehidupan maupun sesudah kehidupan berakhir. Namun jangan diartikan bahwa Al Quran itu budaya. Bukan itu. Tetapi, berangkat dati Al Quran, maka manusia menciptakan budaya. Menciptakan kebiasaan.Menciptakan tradisi. Misalnya, tidak memakan daging babi. Jadi, kebudayaan yang dibawa Muhammad sebagai nabi  adalah budaya Islam. Tetapi budaya Muhammad sebagai orang Arab, bukanlah budaya Islam.

Islam tidak identik dengan Arab

Tidak  semua bangsa Arab pasti beragama Islam, banyak pula anggota masyarakat yang berasal dari bangsa Arab namun tidak beragama Islam. Oleh karena itu Islam tidak identik dengan Arab dan Arab tidak identik dengan Islam. Islam adalah Islam dan Arab adalah Arab.

Apakah budaya Indonesia?

Budaya Indonesia adalah semua hasil karya orang Indonesia yang bersifat asli, turun temurun dan merupakan ciri khas Indonesia, termasuk bidang kesenian, kreativitas, inovasi maupun invensi.

Beragama Islam tapi berbudaya Arab

Yang terjadi di Indonesia adalah, banyak umat Islam yang beragama Islam tetapi berbudaya Arab. Misalnya, memanggil suaminya dengan kata “abi”. Berpakaian mirip pakaian orang-orang Arab di mana Nabi Muhammad sebagai seorang nabi tidak pernah mengenakan pakaian seperti itu. Juga, banyak umat Islam yang lebih pandai menulis dan membaca huruf Arab daripada menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Memangun rumah mirip rumah-rumah yang ada di negara Arab. Ikut-ikutan menanam pohon korma. Ikut-ikutan memelihara onta. Membuat masakan sama dengan makanan yang ada di Arab. Pokoknya, apa yang dikerjakan orab dianggap budaya Islam. Padahal itu budaya Arab.

Jadilah orang Islam yang berbudaya Indonesia

Oleh karena itu, jadilah umat Islam yang cerdas. Yaitu umat Islam yang lebih menghargai budaya Indonesia daripada budaya Arab. Lebih menghargai kebiasaan dan tradisi Indonesia daripada menghargai kebiasaan dan tradisi orang Arab. Kebih menghargai kesenian Indonesia daripada kesenian Arab. Lebih menyukai musik dan lagu-lagu Indonesia daripada menyukai musik dan lagu-lagu orang Arab. Jika itu Anda lakukan, maka Anda adalah umat Islam yang cerdas. Sebaliknya, Anda bukan umat Islam yang cerdas.

Semoga bermanfaat.